Hari Ibu. Tepatnya setiap tanggal 22 Desember hampir setiap orang mengenalnya sebagai Hari Ibu. Tak heran semua status sosmed, mulai dari facebook, twetter, BBM, Line, Whatsapp, instagram, dan sebagainya ramai dengan untaian kata indah sebagai ungkapan selamat hari ibu untuk ibu mereka. Entah ibu kandung, ibu mertua, ibu guru, ibu tiri, bahkan untuk calon ibu. Saya pikir sah-sah saja sekedar mengungkapkan kekaguman dan kasih sayang seorang ibu yang tiada bandingnya di moment seperti ini. Namun, bagiku itu hanyalah sebuah perbuatan sia-sia, bukanlah bukti cinta yang sesungguhnya, apabila hanya sekedar meramaikan sosial media tanpa ada tindakan nyata. Sungguh, seorang ibu yang hidup pada masanya, kebanyakan dari mereka tidaklah mengenal sosial media yang kini marak dalam keseharian kita. Jangankan sosial media, terkadang SMS ataupun telpon saja masih menjadi sesuatu yang asing bagi mereka. Ungkapan cinta dan kasih sayang kita itu tak lain hanyalah dusta belaka. Akan lebih baik jika kita berdoa tulus setiap saat untuk kebahagiaan hidupnya, atau sesekali menjenguknya untuk sedikit berbagi tawa dan canda, maupun dengan berbagi sebanyak-banyaknya, berprestasi dengan sebaik-baiknya, serta menjadi insan yang menginspirasi sesama untuk menjadi pribadi yang berguna. Aku pikir itu jauh lebih berharga dan jauh lebih membanggakan serta membahagiakan ibu kita.
Terlepas dari peringatan hari ibu, aku ingin bercerita sedikit tentang ibu yang sangat aku cintai. Teringat tentang beberapa kejadian yang menimpaku secara bertui-tubi di tahun 2014 ini. Berawal dari kisah cintaku yang tak perlah lepas dari perhatian ibuku. Betapa banyak pelajaran yang kau berikan untukku. Sejuta kesabaran yang kau nasehatkan untukku, takkan pernah aku lupakan. Pertama, saat aku masih terpuruk dengan pekerjaanku, lebih tepatnya dengan gajiku sebagai guru sekolah swasta yang masih jauh di bawah UMR. Aku banting tulang untuk mendapatkan gaji yang maksimal, di luar profesiku sebagai guru. Aku memang sudah tidak punya beban maupun tanggungan saat itu. Hanya menabung untuk masa depanku dan untuk membiayai kuliah tambahanku. Memang aku tidak pernah merasa puas dengan pendidikanku. Padahal ijazah S1 sudah aku kantongi, masih saja aku terus berlari mengejar beasiswa untuk lanjut studi S2. Berjuta peluang aku coba untuk mendaftar. Berbagai kesempatan tak begitu saja aku lewatkan. Berbagai cara aku lakukan, mulai dari kursus Bahasa Inggris di Pare Kediri untuk mempertajam keterampilan Bahasa Inggrisku, sampai ikut tes TOEFL dI uGM, demi mendapat skor tinggi yang diakui nasional, hingga mengejar-ngejar orang tanpa malu hanya untuk mendapat TTD SKCTAB, bahkan hingga merelakan uang untuk membayar registrasi di salah satu program pascasarjana di Yogyakarta yang pada akhirnya aku tinggalkan juga. Namun, semuanya nihil. Tak ada yang sesuai harapanku. Walaupun aku sempat lolos dalam seleksi beasiswa LPDP di UNDIP, sayangnya aku lebih memilih untuk mengundurkan diri demi menyelamatkan kelinieran studiku. Basicku Matematika, sedangkan yang aku dapatkan Akuntansi. Memang pada dasarnya tak berbeda jauh dalam hal perhitungan matematis di antara keduanya. Namun, secara keilmuwan jelas aku akan kalah jauh dibandingkan dengan teman-temanku yang lulusan S1 Akuntansi. Aku merelakan dengan sebenar-benarnya rela.
Hingga aku menyadari usahaku belum membuahkan hasil juga. Padahal, mengetahui hal itu, orang tuaku sangat mengkhawatirkanku. Di satu sisi, umurku sudah cukup matang untuk menikah, di sisi lain aku tak pernah berhenti mengejar beasiswa yang menurut mereka hanya harapan semata. Meski demikian, aku tak akan berhenti bergerak maju. Aku paksakan untuk tetap mendaftar di salah satu universitas di Semarang, yang tentunya jurusannya linier dengan pendidikanku sebelumnya. Dengan bermodal bismillah nekad, aku maju, apapun konsekuensinya. Dan benar saja, setelah aku resmi diterima, segera kubayarkan sejumlah uang registrasi yang dengan susah payah aku kumpulkan. Ludes sduah tabunganku. Di bank, di celengan, di amplop-amplop, bahkan di di dompetpun bersih. Namun, siapa yang tahu kakau ternyata masih kurang. Akupun tak kehilangan akal. Benda cantik yang menggantung di eleherku, terpaksa aku lepaskan juga. Setelah menukarkannya dengan sejumlah uang, kuhitung kembali uang yang telah terkumpul. Alhamdulillah, cukup.
Satu masalah telah terselesaikan. Aduhai, siapa sangka kalau ibuku yang penuh perhatian itu mendapati kejanggalanku saat aku pulang ke rumah. Benda cantik yang menghias leherku tak tampak oleh pandangan matanya. Aku hanya tersenyum. Aku katakan bahwa aku melepasnya. Tak tega untuk berkata bahwa aku telah menjualnya. Oh… ibu, maafkan aku. Satu hal yang aku sembunyikan darinya, yaitu statusku sebagai mahasiswa, membuatku harus menyembunyikan banyak hal lain untuk menutupinya. Aku hanya berdoa semoga Allah melancarkan niat baikku ini. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang mendorongku untuk memaksakan diri menlanjutkan studi S2 di tahun 2014 ini. Hal pertama, karena aku berulang kali belumberhasil mendapat beasiswa S2. Yang kedua, karena kisah cintaku yang begitu miris. Korban PHP selama setahun lebih, bahkan hampir dua tahun. Sakit rasanya. Maka, aku berusaha membalutnya dengan mencari kesibukan lain, dengan terus memperbaiki diri, dan sabar menanti dengan tetap berprestasi. Seperti kata Bang Tere Liye, inspiratorku dalam hal ini. Yang ketiga, aku masih punya mimpi. Mimpiku untuk menjadi orang berarti bagi masyarakat, umat, bangsa, dan negara. Ayah dan ibuku, inspirasiku, dalam hal ini. Beliau adalah sosok pejuang dalam pembangunan masyarakat dan umat terutama di desa kami waktu itu. Desa yang masih dipenuhi dengan kemaksiatan dan orang tuaku dengan segenap semangat yang tak terhingga, berhasil mengubahnya. Semangat juang yang dimiliki ayahku membuat membuat masyarakat dan pemuda desaku selamat dari kehancuran peradaban. Ibuku. Sosok hebat yang setia mendampingi perjuangan bapakku. Wanita perkasa yang berhasil melahirkan kami, 10 bersaudara. Akupun beranjak dewasa. Hal menarik itulah yang menginspirasiku untuk dapat melanjutkan perjuangan orang tuaku, meski dengan cara yang berbeda. Ketertarikanku dengan dunia pendidikan membuatku terinspirasi untuk terus berjuang di bidang pengajaran dan pendidikan. Dapat mendirikan pesantren dan sekolah Islam berkualitas tapi terjangkau adalah cita-cita yang ingin kuraih. Semoga jalan yang kutempuh ini dapat melancarkan perjalananku menuju tercapainya cita-citaku.
Kekhawatiran orang tuaku tak berhenti sampai di sini. Akupun tak berhenti menyembunyikan hal-hal besar yang baru-baru ini menimpaku. Sungguh, ini adalah tantangan terbesar dalam sejarah hidupku. Sekiranya orang tuaku tahu, aku tak bisa membayangkan betapa kekhawatirannya lengkap sudah menjadi satu. Siapa yang menyangka kalau pada akhirnya aku kehilangan pekerjaan utamaku sebagai seorang guru, kehilangan penghasilan utama yang menjadi tumpuan hidupku. Aku masih berusaha bertahan dalam kesabaran. Seperti yang orang tauaku nasehatkan. Aku berusaha keras mencari tempat tinggal baru dan pekerjaan baru. Sejuta tempat aku kunjungi dengan peluh yang mengiringi. Sedih, lelah, takut, putus asa bercampur menjadi satu. Hri-hariku penuh dengan kesedihan dan kepedihan. Tapi aku terus bergerak maju, walau tekadang air mata bercucuran dengan sendirinya. Hingga kini aku merasa sepi. Pekerjaan baru tak kunjung kutemui. Tetapi aku masih bersyukur. Walau hanya berstatus sebagai guru tentor, tetapi ternyata penghasilanku tak jauh beda dari sebelumnya. Hingga aku dihadapkan kembali pada masa sulit. Liburan sekolah tiba, persis ketika liburan kuliah menyapa. Aku kembali menjadi pengangguran yang sebenar-benarnya. Kuliah libur, kerjapun libur. Allah, semoga Engkau tetap tambahkan kesabaran dan kesyukuran dalam hatiku.
Ibu… maafkan aku sebagai seorang pengangguran yang belum bisa membanggakanmu.
Ayah … maafkan putrimu yang belum juga berhasil mengubah status kelajanganku.
Untuk engkau Bapak, Ibuku, tunggulah saat tepat di mana aku berhasil membuatmu bangga dan bahagia.
Kampus Bendan Ngisor, 22 Desember 2014 12:19